Muhajirin dan Anshar: Kisah Persaudaraan yang Menguatkan Umat Islam

muhajirin dan anshar persaudaraan

Secara umum, dalam ajaran Islam, dijelaskan bahwa seluruh umat Muslim adalah saudara, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah ta’ala dalam surat Al-Hujurat (49): “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara.”

Dengan konsep persaudaraan ini, Islam mewajibkan umatnya untuk saling membantu dalam kebaikan. Namun, pembahasan kali ini akan berfokus pada persaudaraan khusus antara dua kelompok, yaitu Muhajirin (kaum yang hijrah dari Makkah) dan Anshar (penduduk Madinah yang mendukung hijrah mereka). Persaudaraan ini memiliki implikasi yang lebih khusus dibandingkan dengan persaudaraan umum.

Ketika Muhajirin hijrah ke Madinah, banyak dari mereka harus meninggalkan harta mereka di Makkah karena kondisi yang berbeda antara dua kota tersebut. Makkah memiliki kondisi gersang sementara Madinah subur. Mayoritas Muhajirin terampil dalam perdagangan, sedangkan penduduk Madinah mayoritas bertani. Ini menciptakan masalah social dan ekonomi bagi Muhajirin yang memerlukan adaptasi.

Namun, Anshar, dengan keikhlasan dan pengorbanan mereka, tidak membiarkan saudara-saudara Muhajirin mereka menderita. Mereka membantu Muhajirin dengan sepenuh hati, bahkan jika itu berarti berbagi harta dan sumber daya mereka. Pengorbanan ini dicatat dalam Al-Qur’an dalam surat Al-Hashr (59) Ayat 9: “Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).”

Kisah yang terkenal mengenai ayat ini adalah ketika seorang Muhajirin datang dalam keadaan lapar, dan Anshar membantu dengan memberikan makanan di rumah mereka. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menceritakan:

أَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ فَبَعَثَ إِلَى نِسَائِهِ فَقُلْنَ مَا مَعَنَا إِلَّا الْمَاءُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ مَنْ يَضُمُّ أَوْ يُضِيفُ هَذَا فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ أَنَا فَانْطَلَقَ بِهِ إِلَى امْرَأَتِهِ فَقَالَ أَكْرِمِي ضَيْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ فَقَالَتْ مَا عِنْدَنَا إِلَّا قُوتُ صِبْيَانِي فَقَالَ هَيِّئِي طَعَامَكِ وَأَصْبِحِي سِرَاجَكِ وَنَوِّمِي صِبْيَانَكِ إِذَا أَرَادُوا عَشَاءً فَهَيَّأَتْ طَعَامَهَا وَأَصْبَحَتْ سِرَاجَهَا وَنَوَّمَتْ صِبْيَانَهَا ثُمَّ قَامَتْ كَأَنَّهَا تُصْلِحُ سِرَاجَهَا فَأَطْفَأَتْهُ فَجَعَلَا يُرِيَانِهِ أَنَّهُمَا يَأْكُلَانِ فَبَاتَا طَاوِيَيْنِ فَلَمَّا أَصْبَحَ غَدَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ فَقَالَ ضَحِكَ اللَّهُ اللَّيْلَةَ أَوْ عَجِبَ مِنْ فَعَالِكُمَا فَأَنْزَلَ اللَّهُ وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمْ الْمُفْلِحُونَ

“Ada seseorang yang mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (dalam keadaan lapar), lalu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengirim utusan ke para istri beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Kami tidak memiliki apapun kecuali air.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapakah di antara kalian yang ingin menjamu orang ini?” Salah seorang kaum Anshar berseru: “Saya,” lalu orang Anshar ini membawa lelaki tadi ke rumah istrinya, (dan) ia berkata: “Muliakanlah tamu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam!” istrinya menjawab: “Kami tidak memiliki apapun kecuali jatah makanan untuk anak-anak.” Orang Anshar itu berkata: “Siapkanlah makananmu itu! Nyalakanlah lampu, dan tidurkanlah anak-anak kalau mereka minta makan malam!” Kemudian, wanita itu pun menyiapkan makanan, menyalakan lampu, dan menidurkan anak-anaknya. Dia lalu bangkit, seakan hendak memperbaiki lampu dan memadamkannya. Kedua suami-istri ini memperlihatkan seakan mereka sedang makan. Setelah itu mereka tidur dalam keadaan lapar. Keesokan harinya, sang suami datang menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Malam ini Allah tertawa atau ta’ajjub dengan perilaku kalian berdua. Lalu Allah ta’alaa menurunkan ayat-Nya, (yang artinya): dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. al-Hasyr/59 ayat 9) (HR. Bukhari 3798)

Meskipun Anshar dengan baik hati membantu Muhajirin, masalah yang dihadapi oleh Muhajirin harus segera diatasi agar mereka tidak merasa seperti beban. Rasulullah SAW mengambil tindakan bijak dengan mempersaudarakan antara Muhajirin dan Anshar. Tempat deklarasi persaudaraan ini -sebagian ulama mengatakan- di rumah Anas bin Malik dan sebagian yang lain mengatakan di masjid.

muhajirin dan anshar persaudaraan 2_ beraniberbagi.id

Di antara contoh praktis buah dari persaudaraan yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yaitu kisah ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu dengan Sa’ad bin Rabi’ radhiyallahu ‘anhu. Sa’ad radhiyallahu ‘anhu berkata kepada ‘Abdurrahman radhiyallahu ‘anhu: “Aku adalah kaum Anshar yang paling banyak harta. Aku akan membagi hartaku setengah untukmu. Pilihlah di antara istriku yang kau inginkan, (dan) aku akan menceraikannya untukmu. Jika selesai masa ‘iddahnya, engkau bisa menikahinya.”

Mendengar pernyataan saudaranya itu, ‘Abdurrahman radhiyallahu ‘anhu menjawab: “Aku tidak membutuhkan hal itu. Adakah pasar (di sekitar sini) tempat berjual beli?”

Lalu Sa’ad radhiyallahu ‘anhu menunjukkan pasar Qainuqa’. Mulai saat itu, ‘Abdurrahman radhiyallahu ‘anhu sering pergi ke pasar untuk berniaga, sampai akhirnya ia berkecukupan dan tidak memerlukan lagi bantuan dari saudaranya. (Hadis ini selengkapnya bisa dilihat dalam Shahih al-Bukhari, al-Fath, 9/133-134, no. 2048)

Hikmah dari kisah ini adalah pentingnya persaudaraan, saling membantu, dan sikap keikhlasan dalam Islam. Tindakan Abdurrahman bin ‘Auf yang menolak tawaran saudaranya, Sa’ad bin Rabi’, menunjukkan pentingnya menjaga harga diri dan tidak bergantung pada orang lain. Ini juga menggambarkan kesiapan mental Muhajirin untuk bekerja keras dan tidak meminta-minta.

Bagikan post ini :

Berbagi nasi box untuk para Pejuang Nafkah

Yatim Ceria 2023 bersama beraniberbagi.id

Program Berbagi Nasi Baik sebagai bentuk perhatian kecil kita kepada warga kurang mampu terutama untuk para pejuang nafkah