Banyak kisah menarik yang membuat kita berdecak kagum atas keluhuran budi dan akhlak Rasulullah saw. Pikiran dan perasaannya yang selalu terkendali, membuatnya memiliki kepribadian yang berbeda dengan para Nabi terdahulu, seperti Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Luth, Nabi Shaleh hingga Nabi Musa sekalipun. Terkenang dalam ingatan kita mengenai penolakan Nabi Muhammad, ketika Malaikat Jibril membentangkan sayapnya hendak meluluh-lantakkan kaum Thaif yang telah berbuat kasar dan aniaya kepada Sang Nabi, justru beliau menjawab, “Mereka itu orang-orang yang belum mengerti.”
Orang-orang yang belum mengerti, masih ada kemungkinan berproses untuk mengerti dan menerima hidayah. Sebagaimana datangnya seorang warga Baduy yang tidak mengerti harus kencing di mana, sampai-sampai beberapa sahabat marah lantaran orang dusun itu justru kencing di pojokan masjid Nabawi di Madinah. Rasulullah berusaha menenangkan para sahabat, agar lebih jauh memahami nilai dan tatakrama dalam memperlakukan orang asing (liyan), bukan malah mencurigai dan memusuhinya. Ia memerintahkan seorang sahabat untuk segera membersihkan air kencing tersebut.
Kisah mengenai Nenek Yahudi sudah tak asing bagi kita semua. Nenek tua-renta yang kerjaannya memprovokasi orang agar menjauhi Muhammad, justru bertanya-tanya ke mana lelaki yang sering menyuapi roti halus dan renyah yang disodorkan ke mulutnya dengan tulus-ikhlas itu?
“Orang itu sudah wafat, wahai Nenek Tua,” ujar Abu Bakar dalam penyamarannya selaku khalifah. “Siapakah orang baik itu?” tanya sang nenek. “Dia adalah Muhammad, Rasulullah,” jawab Abu Bakar.
Dengan demikian, ciri seorang muslim yang mengaku cinta kepada Nabi Muhammad adalah mampu memaafkan orang lain yang telah berbuat zalim kepadanya. Bukan sekadar kebaikan kita lantaran orang lain berbuat baik kepada kita. Juga bukan sekadar kita memberi sesuatu yang lebih dari nilai pemberian orang kepada kita. Tetapi, justru kita sanggup memberi ketika orang lain bakhil dan tak mau memberikan apapun kepada kita.
Seorang kakek tua yang seringkali mencaci-maki Rasulullah ketika berpapasan dengannya, suatu kali terserang demam dan sakit keras di pembaringan. Rasulullah justru menjenguknya sambil membawakan kurma segar untuknya. Jadi, untuk bisa memaafkan orang yang telah berbuat zalim, memang memerlukan kebesaran hati yang sudah dicontohkan oleh Rasulullah dalam segala tindak-tanduknya.
Seringkali kita mudah terbawa arus sosial sehingga perilaku kita tergantung pada suasana hati yang bersifat situasional. Tetapi, loyalitas dan kecintaan pada Rasulullah tidak mungkin bisa dikendalikan oleh apa-apa yang sedang ngetren dalam kehidupan masyarakat sosial. Orang mau berbuat apa pun kepadanya, dia tetap konsisten pada nilai kebaikan, karena itulah yang diperintahkan Allah, serta dicontohkan oleh akhlak Rasulullah.
“Tak ada masalah bagi orang yang baik kualitas imannya, karena ia akan teguh bersabar di saat keburukan menimpanya, serta terus bersyukur saat kenikmatan datang menghampirinya,” kata Rasulullah.
Orang semacam itu tidak terkontrol oleh masyarakat sosial, karena ketika ia diperlakukan buruk oleh orang lain, ia tak ada gairah untuk membalasnya dengan keburukan yang sama. Justru ia akan berbalik dengan perbuatan baik, karena memang seperti itulah yang dicontohkan oleh akhlak Rasulullah.
Ia tidak terpengaruh oleh pasang-surut gelombang zaman. Apapun reaksi masyarakat terhadap zaman, tak ada urusan dengan dirinya. Bahkan, sekalipun diberitahu bahwa hari esok akan datang kiamat, tetap saja ia menanam sebatang pohon yang siap ditanam pada hari ini.
Rasa cinta kepada Rasulullah itulah yang menjadi tanda umat Islam menyukai sejarah dan literatur tentang kenabian Muhammad saw. Mereka tidak hanya memahami sepenggal-sepenggal hadis yang disodorkan tanpa ada sanad yang jelas (dhaif), akan tetapi berusaha dengan tekun menelusuri alur kebenarannya. Karena bagaimanapun, “Orang yang dikehendaki kebaikan terhadapnya, Tuhan akan memudahkan baginya pemahaman tentang segala sesuatu,” demikian sabda Nabi.
Masalahnya, kita mau serius mencintai Rasulullah atau hanya sekadar gagah-gagahan menjadi fanatik kepada figur atau tokoh tertentu yang mengaku-ngaku keturunan Rasulullah, namun sikap hidupnya tak sesuai dengan akhlak Rasulullah? Jika kita mencintai Rasulullah dengan hati tulus, insyaallah akan ada jalan bagi kita untuk mencintai mursyid atau ulama yang benar-benar mumpuni, serta berakhlak sebagaimana akhlak Rasulullah.
Di dalam Al-Qur’an jelas diterangkan (al-Ahzab: 21) bahwa dalam kepribadian Rasulullah terdapat suri tauladan yang baik (uswah hasanah) yang harus menjadi barometer dan tolok-ukur bagi umat Islam dalam menjalani hidup di dunia ini. Sehingga, hidup yang sementara ini akan menjadi tuntunan yang sesuai dengan pola hidup yang diajarkan Rasulullah dengan sebaik-baiknya.
sumber: https://islam.nu.or.id/sirah-nabawiyah/mencintai-rasulullah-mencintai-kebaikan-YFXMr